Opini  

Media Massa, Pesantren, dan Kejahatan Pikiran

Amir Hamzah, Dosen Institut Agama Islam Syaichona Moh. Cholil

PUBLIK dikejutkan oleh sebuah tayangan dari salah satu stasiun televisi swasta, Trans7 — kanal media yang katanya “mainstream”, tetapi justru memperlihatkan betapa dangkalnya nalar yang mereka gunakan untuk membaca realitas. Tayangan itu menyorot sowan santri kepada KH. Anwar Mansur, ulama sepuh yang disegani dan diakui keilmuannya, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo. Namun framing yang disuguhkan bukan penghormatan, melainkan penghinaan.

> “Ternyata yang ngesot itulah yang ngasih amplop.”

“Enak kiainya yang kaya: sarungnya mahal, berkisar dari 400 ribuan hingga 12 jutaan, mobilnya pun mewah sampai miliaran. Yang ngasih duit? Santrinya. Famili kiainya juga kecipratan.”

“Netizen pun curiga. Bisa jadi inilah sebabnya sebagian kiai makin kaya raya.”

Ini bukan lagi jurnalisme. Ini agitasi rendahan — disajikan dalam nada sinis dan narasi yang tendensius. Ini bukan sekadar tayangan keliru, melainkan kejahatan pikiran. Mengapa? Karena ia tidak hanya merendahkan, tetapi juga mengarahkan publik untuk melihat pesantren bukan sebagai pusat ilmu, melainkan sebagai pusat pembodohan.

Apakah ini kebetulan? Tentu tidak. Trans7 adalah bagian dari CT Corp milik Chairul Tanjung, dijalankan oleh Transmedia dengan Direktur Utama Atiek Nur Wahyuni. Dua nama yang mungkin cakap berbisnis, tetapi jelas tidak memahami nilai, apalagi nilai pesantren. Ketika mereka berbicara tentang dunia yang tidak mereka pahami, yang lahir hanyalah sinisme yang dibungkus produksi mahal.

Exit mobile version