Sowan bukan perbudakan; itu adalah adab. Bukan pengkultusan, tetapi pengakuan. Seorang kiai tidak dibayar negara, tidak digaji seperti rektor, dan tidak memiliki tunjangan pensiun. Ia hanya memiliki doa dan pengabdian. Sementara santri, dengan kesadaran penuh, memberi tanpa paksaan. Tidak ada mekanisme pungli; yang ada hanyalah ketulusan.
Soal amplop santri, itu diberikan dengan kesadaran, bukan dengan syarat. Jumlahnya tidak seberapa — tak ada artinya dibandingkan ongkos bimbingan skripsi, biaya tesis, atau harga toga yang konon harus dibeli hanya agar bisa bersalaman dengan rektor di panggung wisuda. Sementara amplop santri yang diberikan tanpa pamrih kepada kiai yang saban malam bangun untuk mendoakan santrinya justru dipelintir sebagai eksploitasi.
Ironi. Tapi begitulah paradoks zaman kita: tidak mampu membedakan antara adab dan feodalisme. Yang ikhlas dianggap bodoh, yang transaksional dianggap modern. Padahal yang satu mengajarkan adab, yang lain menjual gengsi. Dan Trans7, dalam kekeliruannya, gagal membedakan keduanya.
