Opini  

Kendaraan Listrik: Hijau di Jalan, Merah di Hutan

Moh. Ridlwan, Bidang Kebudayaan dan Kesenian DPW Madas Nusantara DKI Jakarta

Situasi kobalt bahkan lebih getir. Sebagian besar pasokan kobalt dunia berasal dari Republik Demokratik Kongo, negara yang dililit konflik dan ketimpangan. Amnesty International (2019) melaporkan adanya lebih dari 35.000 anak yang terlibat dalam penambangan kobalt di sana, tanpa perlindungan kesehatan dan keselamatan. Di bawah tanah, masa depan kendaraan canggih dibangun di atas penderitaan manusia yang paling rentan.

Masalah berlanjut pada akhir siklus hidup kendaraan listrik: limbah baterai. Masa pakai baterai EV berkisar antara 8 hingga 15 tahun. Setelah itu, baterai akan menjadi limbah elektronik yang mengandung logam berat dan senyawa beracun. Di Indonesia, infrastruktur daur ulang baterai litium-ion masih sangat minim. Data IEA menunjukkan hanya 5% baterai litium yang berhasil didaur ulang secara efisien. Sisanya menjadi beban lingkungan yang mengendap, menunggu waktu untuk meledak dalam bentuk krisis baru.

Namun, pembangunan infrastruktur kendaraan listrik terus dipercepat. Pemerintah Indonesia menargetkan dua juta kendaraan listrik mengaspal hingga tahun 2030. Target ini didorong bukan semata demi lingkungan, tetapi juga karena dorongan geopolitik dan ekonomi global. Indonesia ingin menjadi pemain utama dalam rantai pasok industri EV dunia. Sayangnya, peran ini lebih banyak sebagai penyedia bahan mentah dan lokasi produksi murah, sementara nilai tambah dinikmati negara-negara maju.

Inilah wajah kolonialisme baru—kolonialisme hijau. Di mana negara-negara maju memenuhi target keberlanjutan mereka, tetapi dengan memindahkan kerusakan ke belahan dunia yang lain. Indonesia, yang kaya akan nikel, justru menanggung beban lingkungan, sosial, dan kesehatan. Sementara itu, mobil listrik berkeliling kota-kota Eropa dan Amerika sebagai simbol kepedulian ekologis.

Dalam kondisi ini, kita membutuhkan kejujuran baru dalam melihat masa depan. Etika dapat menjadi jendela alternatif. Seperti yang diungkap Paus Fransiskus dalam Laudato si’, merawat bumi bukan soal teknologi, tetapi soal pertobatan ekologis—cara pandang baru terhadap relasi manusia dengan alam. Kita tidak bisa menyelamatkan planet ini hanya dengan mengganti bahan bakar, melainkan dengan membongkar sistem yang melanggengkan konsumsi berlebih dan eksklusi sosial.

Exit mobile version