Di tengah semua ini, Madura memilih untuk tidak mengamuk. Ketika daerah lain membakar ban dan merobohkan pagar gedung DPR, Madura tetap tenang. Namun, ketenangan ini adalah sebuah kesalahan fatal jika diartikan sebagai kepatuhan. Diamnya Madura adalah sebuah pilihan beradab sebuah prinsip bahwa protes tidak harus dilakukan dengan merusak rumah sendiri. Itu adalah jeritan yang ditelan, bukan persetujuan yang diberikan. Sayangnya, Negara terlalu nyaman dengan diam ini dan menganggapnya sebagai lisensi untuk terus melanjutkan eksploitasi.
Kini, muncul sebuah gagasan yang bukan lagi sekadar wacana, melainkan sebuah peta jalan yang logis: Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tembakau Madura. Ini bukan permintaan untuk dikasihani. Ini adalah tawaran untuk menghentikan perampokan ini dan mengubah status Madura dari “kambing hitam” menjadi pusat industri yang legal, modern, dan bermartabat. Pertanyaannya kini sederhana: apakah Negara berani menghentikan praktik yang menguntungkan sebagian pihak ini dan bersikap adil?
Pada akhirnya, ini adalah utang keadilan. Negara berutang kepada tanah yang telah dirampas kekayaannya dan dimiskinkan rakyatnya. Dan utang semacam ini tidak bisa selamanya diabaikan, karena diam yang sabar pun memiliki batas akhir.