Opini  

Di Balik Api dan Angka: Membaca Kerusuhan Jakarta dengan Adorno

Moh. Ridlwan, Pengamat sosial dan Pengurus DPP Ikatan Mahasiswa dan Sarjana Santri Syaichona Moh. Cholil (IMASS) Bangkalan

Tetapi lagi-lagi, logika Adorno mengingatkan kita: perlawanan ini pun masih berada dalam lingkaran “industri budaya” baru—industri aplikasi yang mengatur ritme hidup, memberi kebebasan semu, lalu membiarkan pekerja terjebak dalam rutinitas tanpa akhir.

Di samping mereka, ada para pelajar STM. Jumlahnya signifikan, membawa energi, membawa keberanian yang sering berubah menjadi bentrokan fisik. Kehadiran mereka memberi warna, tapi juga menegaskan betapa rapuhnya ruang pendidikan kita. STM yang seharusnya mencetak tenaga terampil justru memproduksi anak-anak yang lebih mudah menemukan makna di jalanan ketimbang di kelas.

Adorno menyebut ini “kegagalan pendidikan sebagai pencerahan”: alih-alih mendidik untuk berpikir kritis, sekolah justru melahirkan subjek yang mudah dikooptasi oleh amarah kolektif.

Mahasiswa? Mereka ada, tapi samar. Jumlah mereka tak sebanding dengan ribuan ojol atau ratusan pelajar STM. Banyak yang hadir hanya untuk “meramaikan.” Ini menjadi ironi sejarah. Dulu, mahasiswa pernah menjadi lokomotif perubahan, dianggap “barisan moral.” Kini, mereka lebih seperti bayangan.

Apakah universitas sudah berubah menjadi pabrik tenaga kerja—menghasilkan individu patuh, terampil, tapi tak berani menggugat sistem? Adorno mengingatkan: modernitas bisa membungkam kritik melalui pendidikan yang terlalu menekankan keterampilan teknis dan melupakan kesadaran kritis. Maka, absennya mahasiswa dalam skala besar adalah tanda: ruang intelektual kita sudah lama jinak.

Exit mobile version