Negeri ini, dalam cita-cita luhur para pendirinya, begitu agung menempatkan alam sebagai rahim kehidupan bersama. Pasal 33 UUD 1945 bukan semata deretan kalimat hukum, melainkan jantung kebangsaan yang berdegup untuk satu pesan keramat: bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Betapa indah pandangan ini, semacam janji suci negara kepada rakyat, bahwa gunung-gemunung, sungai-sungai mengalir, hingga hutan raya yang menghijau semuanya bukan milik segelintir orang, tetapi warisan bersama yang harus dijaga, dirawat, dan diarahkan untuk kesejahteraan semua.
Namun realitas hari ini sering membuat hati tercekik pelan, Negara bahkan hanya takut pada evoria simbol “one piece” yang lagi viral, seakan hal itu akan merusak ideologi bangsa.
Padahal Pasal 33 UUD 45 kerap tinggal sebagai puisi sakral yang dipahat di lembar konstitusi, sementara tanah di bawah pijakan kita justru rusak dan menangis. Tambang-tambang menganga melebihi luka, menyedot bukan hanya isi perut bumi, tapi juga napas kehidupan warga sekitar.
Hutan ditebang bukan dengan cinta, melainkan dengan nafsu terburu-buru demi angka pertumbuhan ekonomi. Sungai tercemar; air yang dahulu bening menyejukkan kini keruh membawa nestapa, tak lagi layak diminum, tak lagi layak menjadi tempat bermain anak-anak yang riang.
Negara sering tampak gagah saat bicara pembangunan, tetapi seperti kehilangan kata-kata ketika rakyat bertanya: kemakmuran siapa yang sedang dibangun? Mengapa negara hanya takut pada viralitas dunia maya? Sebegitu lunturkah bangsa ini memahami pancasila?