Seorang pengamat industri musik menilai ini sebagai “pukulan telak.” Dulu, sebuah lagu bisa viral karena sering diputar di tempat umum. Namun, kini, ketakutan membayar royalti membuat pengusaha enggan memutar lagu, sehingga musisi kehilangan salah satu platform penting untuk menjangkau pendengar baru.
Pemerintah berdalih, aturan ini bertujuan memberikan kepastian hukum dan memastikan hak ekonomi pencipta lagu terpenuhi. Skema tarif pun sudah dibuat, dengan besaran yang bervariasi tergantung jenis dan luas usaha. Namun, di lapangan, implementasinya dinilai janggal. Banyak pengusaha mengeluhkan ketidakjelasan skema, bahkan ada yang merasa diperas oleh oknum.
Para pengusaha juga merasa sudah membayar hak cipta saat berlangganan layanan musik seperti Spotify atau YouTube Premium. Mereka beranggapan, langganan ini seharusnya sudah mencakup izin pemutaran di ruang publik. “Kita bayar membership resmi, kecuali kalau mereka membajak lagunya,” tegas Rian. Ia bahkan berpendapat, pemutaran lagu di kafe adalah bentuk promosi gratis bagi musisi, sehingga semestinya mereka yang dibayar, bukan sebaliknya.
Polemik ini membuka mata bahwa tujuan mulia sebuah regulasi bisa berbenturan dengan realita di lapangan. Tanpa adanya transparansi, sosialisasi yang masif, dan skema yang adil, “suara” musik yang seharusnya menjadi harmoni akan terus berubah menjadi nada sumbang yang membebani pengusaha dan meredupkan industri kreatif itu sendiri.