Jakarta — Di balik riuh obrolan dan aroma kopi yang semerbak, para pengusaha kafe kini dilanda kegelisahan. Bukan karena sepi pengunjung, melainkan karena Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 yang mewajibkan pembayaran royalti musik. Aturan ini, yang seharusnya menguntungkan musisi, justru membuat para pengusaha kelabakan dan berpotensi mematikan industri musik Tanah Air.
Seorang pemilik kafe di Jakarta Selatan, Rian, mengeluhkan aturan ini. Ia merasa tercekik di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih. “Terus kalau harus bayar, dari jam buka sampai tutup harus bayar berapa? Belum tentu pendapatan hari itu ada, apalagi harus menutupi bayar ke LMKN, nyusahin,” ujarnya (Sabtu, 2/08/25).
Bagi pengusaha seperti Rian, musik bukan sekadar latar belakang, tetapi bagian dari identitas kafe. Musik menciptakan suasana, menaikkan emosi, dan membuat pengunjung betah berlama-lama. Namun, dengan adanya ancaman tagihan dan gugatan, seperti kasus yang menimpa salah satu gerai Gacoan, mereka kini berpikir dua kali untuk memutar lagu-lagu populer.
Sebagai siasat, banyak pengusaha kafe kini beralih ke “musik hening”. Alih-alih memutar lagu-lagu hits, mereka memilih memutar suara alam seperti kicauan burung atau gemericik air, bahkan membiarkan kafe sunyi. Langkah ini dianggap lebih aman dan bebas biaya.
Namun, pilihan ini berpotensi memiliki efek domino yang merugikan. Kafe, restoran, dan ruang publik adalah etalase penting bagi musisi untuk memperkenalkan karya mereka. Jika kafe-kafe berhenti memutar musik, terutama dari musisi lokal, maka kanal promosi ini akan hilang. Akibatnya, musik Indonesia bisa menjadi “redup”.