Ajang ini terbuka untuk peserta dari seluruh kabupaten di Jawa Timur. Pendaftaran dimulai sejak 4 Mei 2025, kemudian dilanjutkan dengan seleksi ketat baik secara daring maupun luring. Para peserta menjalani uji berkas, tes pengetahuan budaya, unjuk bakat, hingga tes psikologi, sebelum akhirnya tampil di panggung Grand Final.
Nana melewati semua tahapan itu dengan konsistensi dan dedikasi tinggi. Ia tidak hanya menampilkan kemampuan presentasi budaya, tetapi juga membawa gagasan segar tentang digitalisasi wastra.
Lebih dari sekadar ajang pencarian duta, kompetisi ini juga menjadi ruang promosi bagi para UMKM pengrajin kain tradisional. Dengan sorotan publik dan media, produk-produk lokal kini memiliki peluang lebih besar untuk dikenal, bahkan meningkatkan nilai jualnya.
Selain itu, ajang ini membuka jalan kolaborasi antar peserta dan penggiat budaya. Jejaring yang terbentuk selama kompetisi menjadi aset penting dalam menggerakkan ekonomi kreatif berbasis budaya.
Wastra bukan sekadar kain. Ia adalah identitas, narasi, dan warisan. Di tengah arus modernisasi dan tren busana cepat (fast fashion), melestarikan wastra berarti menjaga akar dan jati diri bangsa. Perjuangan seperti yang dilakukan oleh Nana menjadi pengingat bahwa budaya bukan untuk dilestarikan dengan nostalgia, melainkan dihidupkan kembali dengan relevansi.
“Menjadi Puteri Wastra adalah tanggung jawab. Saya ingin generasi muda tak hanya memakai batik, tetapi juga memahami maknanya, menghargai pembuatnya, dan membawa cerita di baliknya ke ranah global,” tutup Nana.