Opini  

Media Massa, Pesantren, dan Kejahatan Pikiran

jatiminfo.id
Amir Hamzah, Dosen Institut Agama Islam Syaichona Moh. Cholil

Tayangan itu rapi — terlalu rapi untuk disebut tidak disengaja. Ini bukan kritik, melainkan insinuasi. Lebih tepat disebut sebagai propaganda kebencian terhadap tradisi keilmuan yang tak bisa dibeli oligarki: pesantren. Ada tema feodalisme, dosa konstruksi, hingga sowan kiai. Semuanya tampak sebagai agenda yang disiapkan dengan matang.

Jelas, ini merupakan upaya mendelegitimasi pesantren sebagai institusi pendidikan. Mengapa? Karena pesantren tidak bisa dibeli. Tidak tunduk pada kekuasaan. Tidak ikut arus kapitalisme pendidikan. Maka pesantren menjadi musuh — diserang dari layar kaca dengan narasi murahan.

Pertanyaannya: apakah Trans7 kehabisan bahan tayang sampai harus mengemis sensasi dari dunia yang tak mereka pahami? Jika iya, maka saran saya sederhana: bubar saja. Jangan ganggu ruang-ruang suci yang tak bisa dijangkau logika untung-rugi kalian.

READ -  Ironi Madura: Mesin Triliunan Rupiah yang Sengaja Dibiarkan Miskin

Kaum santri tidak boleh diam. Ini bukan sekadar soal “konten viral”, melainkan serangan epistemik terhadap pesantren. Ini bukan kritik terhadap individu, tetapi penghinaan terhadap sistem nilai. Ketika sowan dianggap penindasan, yang rusak bukan santri, melainkan nalar yang melihatnya.

Kita menghormati kiai bukan karena struktur, tetapi karena substansi. Jabatan kiai bukan hasil formulir pendaftaran, bukan pula produk seleksi administratif. Jabatan itu tumbuh, bukan ditunjuk. Ia hadir sebagai pengakuan sosial atas ilmu dan keteladanan — bukan karena pengesahan institusi, apalagi hasil voting senat akademik.