Opini  

Kendaraan Listrik: Hijau di Jalan, Merah di Hutan

jatiminfo.id
Moh. Ridlwan, Bidang Kebudayaan dan Kesenian DPW Madas Nusantara DKI Jakarta

Tak hanya pada ruang ekologis, kerusakan ini juga menyasar ruang sosial. Masyarakat adat yang sejak lama hidup harmonis dengan alam tiba-tiba kehilangan tanah ulayat mereka karena konsesi pertambangan. Di banyak tempat, dialog yang seharusnya melibatkan warga hanya menjadi formalitas administratif. Keadilan ekologis runtuh di bawah kaki investasi.

Namun kerusakan tidak berhenti di tambang. Proses pengolahan bijih nikel menggunakan metode High-Pressure Acid Leaching (HPAL) yang boros energi dan menghasilkan limbah asam dalam jumlah besar. Ironisnya, smelter-smelter nikel di Indonesia masih bergantung pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Artinya, kendaraan yang dipromosikan sebagai “bebas emisi” justru menyumbang emisi karbon dalam jumlah besar di fase hulu.

READ -  Di Balik Api dan Angka: Membaca Kerusuhan Jakarta dengan Adorno

MIT Energy Initiative (2020) mencatat bahwa jejak karbon produksi kendaraan listrik, terutama dari proses pembuatan baterainya, bisa mencapai 30-40% lebih tinggi dibanding mobil berbahan bakar bensin biasa. Emisi tak lenyap begitu saja, ia hanya berpindah alamat: dari knalpot ke cerobong PLTU. Di Indonesia, 62% listrik masih berasal dari batu bara (RUPTL PLN 2021–2030). Maka transisi ini bukanlah penghapusan polusi, melainkan pengalihan polusi.

Lebih ironis lagi, di beberapa daerah—seperti Sulawesi Utara—Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) sempat dioperasikan dengan menggunakan genset diesel karena belum terhubung ke jaringan listrik nasional. Sebuah ironi ekologis: kendaraan “hijau” yang diisi dengan energi “hitam”. Ini seperti mengganti sedotan plastik dengan sedotan logam, lalu tetap membuangnya ke laut. Kita terjebak dalam pendekatan kosmetik terhadap krisis lingkungan: permukaan berubah, akar masalah tetap.

READ -  Saat Negara Takut Pada Simbol One Piece, Sementara Bumi Menjerit

Bila kita menoleh ke luar negeri, lanskap kerusakan tak kalah mengkhawatirkan. Litium, yang banyak digunakan dalam baterai EV, ditambang di wilayah gurun garam Amerika Selatan, seperti di Bolivia, Chili, dan Argentina. Proses ekstraksi litium di sana membutuhkan hingga 2 juta liter air per ton litium—menguras cadangan air di kawasan yang memang sudah kering. Di satu sisi, teknologi EV menjanjikan planet yang lebih hijau, tetapi di sisi lain, ia menyedot kehidupan dari tanah yang rapuh.