“Pajak daerah itu menjadi penting karena pada prinsipnya, yang dimaksud dengan penerimaan pajak dalam definisi OECD adalah segala sesuatu yang memberikan beban kepada negara. Dalam konteks Indonesia, tidak menjadi masalah apakah itu dipungut oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah,” jelasnya.
Lebih lanjut, Yon Arsal memahami bahwa tax ratio Indonesia, meskipun sudah memasukkan pajak daerah, masih belum mencapai batas minimal 15 persen. Meskipun demikian, ia menekankan bahwa jarak dengan standar minimal tersebut semakin menipis dan masih ada peluang bagi pemerintah untuk terus meningkatkannya.
Bahkan, tax ratio Indonesia yang sudah memperhitungkan pajak daerah disebutkannya tidak kalah dengan capaian beberapa negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN). Sebagai contoh, Singapura mencatatkan tax ratio sebesar 12,1 persen, sementara Malaysia berada di angka 12,2 persen.
Indonesia memang masih tertinggal dari Thailand yang mencatatkan tax ratio 16,7 persen, Filipina 18,4 persen, dan Vietnam 19 persen. Akan tetapi, Yon Arsal menyoroti bahwa Filipina dan Vietnam mendapatkan sumbangan sekitar 4 persen hingga 5 persen dari social security contribution* terhadap tax ratio mereka.
“Kalau kita bandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, sebenarnya tax ratio kita tidak terlalu ketinggalan, masih di kisaran 12 persen hingga 14 persen,” klaim Yon Arsal.
Sebagai informasi tambahan, realisasi tax ratio Indonesia saat ini masih stagnan di kisaran 10 persen. Bahkan, terjadi penurunan dari 10,31 persen pada tahun 2023 menjadi 10,08 persen pada tahun 2024.