Selain aparat penegak hukum, GMNI menilai kebijakan Pemkab Bangkalan terkait pembangunan Rumah Aman untuk anak berhadapan hukum bermasalah. Menurut Fitron, menempatkan korban dan pelaku dalam satu fasilitas, meski secara teknis terpisah, tetap berpotensi memperparah trauma korban.
“Prinsip trauma care harus ditegakkan dengan pemisahan total,” tegasnya. Kritik serupa sebelumnya juga pernah disampaikan Ketua Komisi D DPRD Bangkalan, Nur Hasan, yang menilai kebijakan itu tidak sensitif terhadap kondisi psikologis korban.
GMNI Bangkalan menyampaikan tiga tuntutan mendesak:
1. Segera Tangkap
Pelaku Polres Bangkalan diminta segera menangkap RD, AD, SU, RK, JN, JY, HD, dan BH.
2. Audit Sistem Perlindungan Anak
Pemkab Bangkalan diminta merevisi kebijakan Rumah Aman dan membangun sistem perlindungan berbasis trauma care.
3. Transparansi Proses Hukum
Kejaksaan Negeri Bangkalan didesak menuntut para pelaku dengan hukuman maksimal sesuai Pasal 81 UU Perlindungan Anak, yakni pidana 15 tahun penjara.
“Keadilan bagi korban adalah harga mati. Bangkalan harus membuktikan julukan ‘Kota Zikir dan Selawat’ dengan perlindungan nyata bagi perempuan dan anak, bukan hanya slogan,” tegas Fitron.
Sebagai organisasi mahasiswa yang menjunjung tinggi Marhaenisme ajaran Bung Karno, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), melalui sayap pergerakannya, Sarinah, memandang perlindungan perempuan dan anak bukan sekadar isu sosial, tetapi adalah mandat ideologis untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan berkesadaran gender.