Opini  

Ironi Madura: Mesin Triliunan Rupiah yang Sengaja Dibiarkan Miskin

jatiminfo.id
Ahmad Sayadi, Pengamat Sosial

KETIKA kontribusi ekonomi terbesar dibalas dengan angka kemiskinan tertinggi, ini bukan lagi kelalaian, melainkan sebuah perampokan yang terstruktur.

Bayangkan sebuah mesin yang sangat efisien. Mesin ini bernama Madura. Tugasnya satu: menghasilkan daun tembakau berkualitas tinggi yang kemudian diubah menjadi ratusan triliun rupiah cukai setiap tahun untuk mengisi kas Negara. Data membuktikan, hampir separuh tembakau nasional lahir dari mesin ini. Proyeksi penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada 2025 yang mencapai Rp230 triliun adalah bukti betapa vitalnya mesin ini bagi kesehatan fiskal Negara.

Untuk memberikan gambaran seberapa besar angka tersebut, mari kita lihat perbandingannya. Kontribusi Industri Hasil Tembakau (IHT) terhadap penerimaan negara jauh melampaui sektor yang selama ini dianggap primadona, yaitu minyak dan gas. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Komunitas Kretek, sumbangan cukai tembakau bisa mencapai hampir 9% dari total APBN, sementara sektor migas hanya menyumbang sekitar 3%. Ironisnya, 93% dari industri ini adalah kretek, sebuah produk budaya asli Nusantara yang rantai produksinya melibatkan jutaan petani.

READ -  Di Balik Api dan Angka: Membaca Kerusuhan Jakarta dengan Adorno

Uang raksasa dari industri kerakyatan ini kemudian mengalir deras ke pusat kekuasaan, membiayai proyek-proyek mercusuar, menambal defisit anggaran, dan menopang kemewahan di kota-kota besar.

Namun, apa yang tersisa di Madura setelah panen kekayaannya diangkut ke pusat? Jawabannya bukanlah sisa hasil, melainkan kemiskinan yang terstruktur. Ini bukan lagi soal ketidakadilan biasa, ini adalah potret perampokan sistematis. Negara secara aktif mengambil kekayaan Madura dan sebagai gantinya, secara sadar membiarkannya terperosok dalam kemiskinan.