Tetapi seperti dikatakan Adorno, simfoni itu bukanlah musik yang hidup; ia hanyalah rekaman yang diputar berulang-ulang. Di situlah letak krisis kita: bahasa kehilangan kekuatan kritis, kata-kata jadi hampa, dan publik kehilangan kepercayaan.
Maka yang tersisa hanyalah retakan. Retakan itu terlihat di jalan-jalan yang penuh asap ban terbakar, di wajah para ojol yang letih, di teriakan STM yang penuh adrenalin, di mahasiswa yang kebingungan mencari peran, di rumah politisi yang hangus.
Retakan itu juga terdengar dalam diam: diam masyarakat yang memilih tak ikut, tapi menyimpan ketidakpercayaan pada sistem. Adorno mengajarkan bahwa kebenaran kadang tersembunyi justru di dalam retakan, dalam “yang negatif.”
Jika demikian, maka demo besar-besaran yang kita saksikan bukan sekadar peristiwa politik biasa. Ia adalah cermin—cermin yang retak, tapi jujur. Ia memperlihatkan wajah bangsa yang rapuh: negara yang sibuk dengan angka dan retorika, elite yang bicara stabilitas, tokoh agama yang menyerukan sabar, sementara rakyat yang lelah hanya bisa melampiaskan amarah dengan membakar.
Dan di ujungnya, kita kembali pada pertanyaan yang sulit: apakah kita sanggup keluar dari lingkaran ini? Ataukah kita akan terus mengulangnya, seperti rekaman yang diputar tanpa henti, sebagaimana dunia yang dikritik Adorno—dunia yang tampak bergerak, tapi sejatinya hanya berputar di tempat?
