Sementara itu, suara tokoh agama terdengar seperti doa yang berulang. Mereka menyerukan kesabaran, mengingatkan ukhuwah, mengajak damai. Tetapi apakah damai tanpa keadilan bukan sekadar retorika hampa? Adorno akan mengatakan: moralitas seperti ini sering menjadi “alat ideologis” yang berfungsi menutup mulut masyarakat.
Agama dikutip untuk menjaga stabilitas, bukan untuk membongkar ketidakadilan struktural. Padahal, jika agama benar-benar berpihak pada manusia, ia seharusnya ikut membuka ruang kritik, bukan sekadar menenangkan massa.
Kerusakan-kerusakan yang terjadi—halte yang dibakar, gedung yang dilempari, rumah politisi yang dijarah—membawa kita pada pertanyaan tentang bentuk perlawanan. Mengapa protes kita nyaris selalu berujung api dan pecahan kaca? Adorno menegaskan: masyarakat yang terjebak dalam lingkaran dominasi kerap tak mampu menemukan bahasa kritik yang produktif.
Mereka hanya tahu mengulang apa yang sudah ditanamkan: destruksi, amarah, kekerasan. Hasilnya, bukannya membuka jalan baru, kerusuhan hanya memberi alasan bagi negara untuk mempertebal aparatus represinya. Polisi menangkap, negara menertibkan, elite berbicara tentang stabilitas. Dan lingkaran itu terus berulang.
Dalam kerangka ini, pernyataan Presiden, Ketua DPR, dan tokoh agama menjadi semacam “simfoni” yang sudah bisa ditebak. Simfoni yang setiap baitnya sudah pernah kita dengar: sabar, tenang, jangan rusuh, percayakan pada mekanisme hukum.
