Opini  

Di Balik Api dan Angka: Membaca Kerusuhan Jakarta dengan Adorno

jatiminfo.id
Moh. Ridlwan, Pengamat sosial dan Pengurus DPP Ikatan Mahasiswa dan Sarjana Santri Syaichona Moh. Cholil (IMASS) Bangkalan

Semua itu terdengar manis, terdengar bijak. Tetapi seperti kata Adorno, bahasa moral sering kali berfungsi sebagai topeng: ia menenangkan, tetapi sekaligus menutupi struktur dominasi yang tak berubah. Seruan agar “jangan anarki” nyaris selalu hadir setiap kali massa marah, tapi nyaris tak ada seruan serius untuk membongkar akar ketimpangan yang membuat orang turun ke jalan.

Di lapangan, kenyataan lain berbicara. Rumah seorang politisi terbakar; pagar rumah pejabat lain dirusak; dan seorang ojek online, Affan Kurniawan meninggal karena dilindas mobil rantis milik Brimob. Media menampilkan gambar-gambar itu dengan sensasi, seakan-akan kekacauan hanyalah tontonan. Padahal di balik setiap kaca pecah dan korban yang berjatuhan, ada sejarah panjang frustrasi.

READ -  DPR Restui Abolisi, Tom Lembong Bebas

Adorno menyebut fenomena ini sebagai “pseudo-individuasi”: tindakan massa yang tampak personal—merusak, menjarah—padahal sesungguhnya hanyalah gejala dari struktur kolektif yang menindas. Orang merasa sedang melawan, padahal sesungguhnya hanya mengulang pola yang dirancang oleh sistem itu sendiri: destruktif, tak produktif, mudah dikendalikan oleh wacana resmi.

Yang mencolok adalah wajah massa itu sendiri. Ribuan pengemudi ojek online mendominasi barisan. Mereka bukan sekadar figuran. Mereka membawa tubuh mereka, motor mereka, dan keberlangsungan hidup mereka yang rapuh. Dunia digital yang menjanjikan fleksibilitas ternyata menyimpan perangkap: algoritma yang kejam, tarif yang menurun, perusahaan aplikasi yang rakus. Mereka turun ke jalan karena jalan adalah satu-satunya ruang di mana suara mereka terdengar.