KITA TAHU, Theodor Adorno pernah menulis bahwa industri budaya membentuk manusia menjadi sekadar konsumen: tanpa refleksi, tanpa kesadaran, hanya mengikuti aliran arus besar yang ditentukan oleh kekuatan ekonomi-politik. Bila kita bawa ke konteks Jakarta hari-hari ini, kerumunan demonstran yang tumpah ke jalan lebih sering tampak sebagai reproduksi mekanis dari amarah massal.
Mereka datang, berteriak, membakar, lalu diamankan. Tak ada refleksi mendalam, tak ada konsensus substantif. Yang ada hanyalah repetisi: “melawan kekuasaan” dengan cara yang pada akhirnya justru mengukuhkan logika kekuasaan itu sendiri.
Kepolisian menyebut angka dengan rapi: 1.240 orang diamankan dalam kurun waktu delapan hari, dari 25 Agustus hingga 1 September. Setiap hari ada puluhan hingga ratusan yang ditangkap. Angka ini diumumkan dengan nada formal, seolah-olah statistik sanggup menjelaskan tragedi.
Tetapi angka, sebagaimana Adorno kerap mengingatkan, adalah bentuk “rasionalitas instrumental” yang menutupi luka konkret manusia. Seribu lebih orang itu bukanlah sekadar digit dalam tabel. Mereka punya wajah, punya ketakutan, punya amarah yang meledak. Tetapi negara memilih menyajikannya sebagai data, agar publik bisa mengunyahnya dengan cepat tanpa harus merenungkan derita.
Presiden kemudian muncul di layar kaca. Dengan bahasa yang disusun hati-hati, ia meminta masyarakat menjaga ketertiban, jangan terprovokasi, percaya pada pemerintah. Ketua DPR mengulang seruan itu: dialog, musyawarah, jangan anarki. Tokoh-tokoh ormas keagamaan ikut bersuara: mari kendalikan emosi, jangan rusak persaudaraan.