Bumi sedang mencoba bernapas di antara debu tambang, jejak aspal, dan udara yang mengandung partikel tak kasat mata. Dunia sedang berpindah gigi, berlari menuju era baru yang diklaim lebih ramah lingkungan. Kendaraan listrik (electric vehicle/EV) muncul sebagai simbol peradaban hijau, menjadi ikon zaman yang menjanjikan revolusi mobilitas tanpa karbon. Seolah-olah, cukup dengan mengubah bahan bakar, planet ini bisa diselamatkan.
Narasi ini terdengar meyakinkan. Mobil listrik dipromosikan sebagai pahlawan dalam perang melawan krisis iklim. Dukungan pemerintah, insentif fiskal, dan kampanye korporasi global telah menciptakan impresi massal: kendaraan listrik adalah perwujudan masa depan yang bersih, canggih, dan peduli bumi. Namun, di balik kecanggihan teknologi dan klaim bebas emisi, tersimpan ironi yang dalam dan kompleks.
Di jantung setiap kendaraan listrik, terdapat baterai litium-ion yang bergantung pada mineral strategis seperti litium, kobalt, dan nikel. Indonesia, dengan kekayaan tambang nikelnya, menyumbang hampir 48% produksi nikel dunia pada tahun 2023. Sebuah posisi yang strategis secara ekonomi, tetapi juga rawan secara ekologis. Pulau-pulau seperti Sulawesi dan Halmahera telah menjadi saksi bagaimana hutan tropis dibabat habis demi tambang terbuka, sungai-sungai yang dulu menjadi urat nadi kehidupan berubah menjadi aliran keruh bercampur lumpur dan logam berat.
Laporan WALHI (2022) secara terang menggambarkan realitas ini: pencemaran sungai, rusaknya ekosistem pesisir, dan terampasnya akses masyarakat terhadap air bersih. Di desa-desa lingkar tambang, air tanah tidak lagi bisa dikonsumsi. Anak-anak bermain di lingkungan yang tercemar, sementara hasil tangkapan ikan dan pertanian menurun drastis. Sungai yang dulu menjadi sumber kehidupan kini berubah menjadi lorong kematian yang diam.