KEBUTUHAN akan alat kesehatan (alkes) di Indonesia terus meningkat seiring dengan upaya pemerintah meningkatkan kualitas layanan kesehatan bagi seluruh masyarakat. Namun, produksi alkes dalam negeri saat ini masih belum mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Data menunjukkan bahwa sekitar 90% alkes yang beredar di Indonesia masih didatangkan dari luar negeri atau impor. Kondisi ini menjadi perhatian serius dan memicu upaya untuk memperkuat industri alkes dalam negeri agar lebih mandiri dan berdaya saing.
Menurut Profil Kesehatan Indonesia tahun 2019, dari total 3.865 sarana produksi kefarmasian dan alat kesehatan, hanya 317 yang bergerak dalam pembuatan alkes. Hal ini mengindikasikan perlunya peningkatan jumlah produsen alkes dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan pada produk impor. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan untuk mengawasi peredaran alkes di Indonesia, salah satunya adalah Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2017 yang mengklasifikasikan alkes menjadi tiga kategori, yaitu alat kesehatan, alat kesehatan diagnostik in vitro, dan perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT).
Kondisi ini menyoroti pentingnya penguatan industri alkes dalam negeri melalui pengembangan teknologi dan kolaborasi antara berbagai pihak, termasuk perguruan tinggi, rumah sakit, dan pengusaha. Direktur Utama Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI), Astuti Giantini, menekankan pentingnya dukungan pemerintah dalam mendorong hilirisasi produksi alkes untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor. Hilirisasi ini bukan hanya tentang meningkatkan produksi lokal, tetapi juga membangun infrastruktur penelitian dan pengembangan yang kuat untuk mendukung inovasi teknologi dalam rangka meningkatkan kualitas layanan kesehatan di Indonesia.